Mengasah Kemampuan Bercerita Seperti Yesus Bercerita


Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Seorang penutur cerita yang baik tentu terlihat dari seni yang mereka miliki dalam berbicara. Sebagai penutur cerita, Yesus menunjukkan hal tersebut. Berdasarkan cerita yang terdapat dalam Injil, kapan pun Yesus bercerita, ada banyak orang yang mendengarkan dengan saksama dan berbondong-bondong mengikuti Dia hanya untuk mendengarkan cerita-Nya. Seni bercerita-Nya yang menarik terlihat dari bakat-Nya sejak kecil. Dia terus mengasah kemampuan dengan sering mengamati orang dengan teliti dan saksama secara luar-dalam, terlebih dalam komunitas masyarakat Yahudi yang kebudayaannya kaya dan subur.

Melalui cerita-cerita-Nya, Yesus juga menunjukkan betapa ia memahami perasaan orang pada saat mereka bergelut mengatasi suka duka hidup setiap hari. Cerita-cerita-Nya di satu pihak sering membuat senang orang kebanyakan, tetapi di lain pihak membuat sakit hati mereka yang mencoba mencari penghormatan atas diri mereka sendiri. Dengan kata lain, Yesus dapat menciptakan gambaran di dalam pikiran para pendengar-Nya. Dia mampu berpikir cepat dan menjawab berbagai pertanyaan, baik secara humor maupun secara kritis.

CARA YESUS BERCERITA

  1. Yesus menggunakan perumpamaan untuk menyampaikan inti pewartaan-Nya.

    Yesus sering menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang menyiratkan makna lain dalam cerita-Nya. Terkadang maksud-Nya sangat jelas bagi pendengar, namun sering juga membuat orang tidak paham dengan maksud-Nya. Hal ini dilakukan karena Dia tidak mau ditangkap sebelum menyelesaikan tugas pengutusan-Nya. Selain itu, Dia juga tahu bahwa masyarakat belum siap menerima seluruh kebenaran yang diwartakan-Nya.

    "Dengan apa hendak kita membandingkan Kerajaan Allah itu, atau dengan perumpamaan manakah hendaknya kita menggambarkannya? Hal Kerajaan itu seumpama biji sesawi yang ditaburkan di tanah. Memang biji itu yang paling kecil daripada segala jenis benih yang ada di bumi. Tetapi apabila ia ditaburkan, ia tumbuh dan menjadi lebih besar daripada segala sayuran yang lain dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya." Dalam banyak perumpamaan semacam itu Ia memberitakan firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka, dan tanpa perumpamaan Ia tidak berkata-kata kepada mereka, tetapi kepada murid-murid-Nya Ia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri (Mrk. 4:30-34).

    Maksud Yesus adalah bahwa kerajaan Allah yang diwartakan-Nya itu kelihatan sangat kecil, tidak berarti, dan ditolak oleh mereka yang ingin mencari hal-hal yang besar. Tetapi dalam benih yang kecil ini Kerajaan Allah akan tumbuh dan berkembang dengan segala kebesaran dan kekuasaannya.

  2. Yesus menggunakan objek yang sederhana, konkret, dan umum untuk menjelaskan maksud pewartaan-Nya.

    Yesus juga sering menggunakan objek konkret dan situasi yang sudah biasa untuk memperjelas inti pewartaan-Nya. Yesus mengisahkan tiga cerita dengan menggunakan objek situasi yang sudah umum untuk membandingkan kasih Allah yang tidak terbatas dengan orang Farisi yang ingin menjadi kelompok eksklusif.

    1. Seorang gembala yang baik.

      Seorang gembala yang baik akan mengutamakan keselamatan dombanya yang tersesat. Dia akan meninggalkan domba-domba yang lain dan pergi mencari yang tersesat tadi sampai menemukannya. Setelah kembali, dia akan mengadakan pesta bersama teman-temannya untuk merayakan ditemukannya kembali dombanya yang hilang tadi. Secara tajam Yesus memperlihatkan hal ini, "Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan" (Luk. 15:7).

    2. Seorang wanita kehilangan sebuah dirham.

      Para pendengar pada zaman Yesus tahu bahwa dirham itu sangat berharga. Situasi ini sudah biasa bagi mereka. Kebanyakan rumah mereka yang tidak berjendela dan tidak berlantai semen membuat mereka kesulitan untuk menemukan dirham yang begitu kecil. Ketika wanita itu menemukan dirham yang hilang tersebut, ia lalu mengadakan pesta. Yesus mengatakan pikiran--Nya sebagai berikut, "Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat" (Luk 15:10).

    3. Pembagian harta warisan orang tua.

      Setiap orang tahu hukum harta warisan terdapat dalam Ulangan 21:17 dan hal itu sering menyebabkan perselisihan dalam keluarga (Luk. 12:13). Hukum yang ada menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu ketika ayah masih hidup, dia bisa memberikan dua pertiga bagian warisan kepada putranya yang sulung dengan catatan anak itu harus menghidupi ayahnya tersebut sampai akhir hayatnya. Sebaliknya, jika putra bungsu meminta bagian warisannya sebelum si ayah meninggal dunia, maka hal itu tidak akan dikabulkan. Ketika Yesus menyelesaikan cerita-Nya yang ketiga, Dia tidak perlu mengatakan pikiran-Nya. Para pendengar kiranya sudah paham akan maksud yang ada di balik cerita tersebut.

    Dalam bercerita, kita perlu menggunakan objek yang sudah lazim di kalangan anak-anak, termasuk mempergunakan latar belakang budaya kita agar anak-anak lebih terbantu untuk memahami kebenaran. Misalnya tentang:

    • menjadi bagian keluarga;
    • kehidupan rumah tangga;
    • relasi dengan orang lain;
    • binatang kesayangan dan hewan-hewan yang lain;
    • peristiwa yang terjadi setiap hari;
    • kegiatan rutin;
    • perasaan-perasaan cinta, benci, takut, dan cemburu;
    • kemarahan, kesedihan, kabaikan, penghianatan;
    • lingkungan sekitar rumah;
    • lingkungan sekolah;
    • kejadian-kejadian lucu;
    • waktu-waktu khusus dan perayaan-perayaan.
  3. Yesus biasanya hanya berfokus pada satu pokok pikiran saja.

    Yesus tidak merumitkan cerita-Nya dengan tiga atau lebih pokok pikiran. Satu pokok pikiran sudah cukup bagi pendengar agar mereka mudah mengingatnya, seperti terlihat dalam cerita tentang orang yang bijaksana dan orang yang bodoh.

    Pikiran utama Yesus adalah orang yang mendengar kata-kata Yesus dan melaksanakannya ibarat membangun hidupnya di atas wadah yang kokoh dan orang yang tidak mendengarkan dan melaksanakan kata-kata Yesus ibarat membangun hidupnya di atas pasir, dengan konsekuensi yang sudah diketahui pendengar-Nya.

  4. Yesus mengetahui dan memenuhi kerinduan para pendengar-Nya.

    Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai dalam kisah (Luk. 18:9-14) dan mengecap orang Farisi sebagai orang yang menganggap diri sendiri benar dan memandang rendah orang lain. Yesus tahu kerinduan hati umat untuk mendengar bahwa siapa yang datang kepada Tuhan dengan hati yang bertobat akan memperoleh belas kasihan dan pengampunan, sedangkan mereka yang hanya mencari popularitas diri tidak akan dipedulikan Tuhan.

  5. Yesus tidak menjelaskan setiap detail cerita.

    Dalam sebuah perumpamaan, Yesus menyampaikan cerita tentang seorang yang dirampok oleh para penyamun ketika sedang dalam perjalanan dari Yerusalem menuju Yerikho (Luk. 10:30-37). Di sana, Yesus tidak menjelaskan mengapa orang itu berjalan sendirian, atau apa urusannya di Yerikho. Dia juga tidak merinci luka-luka orang tersebut dan apa yang dilakukan orang Samaria di jalan tersebut.

    Saat bercerita dengan anak, jangan terlalu detail bercerita karena akan mengaburkan tujuan yang sedang kita rumuskan dan membuat anak kehilangan minat dan semangat sebelum cerita selesai.

  6. Yesus menggunakan seminim mungkin kata-kata untuk memberikan dampak yang maksimal.

    Sesudah mendengarkan pertengkaran di antara para murid tentang siapa yang terbesar di antara mereka, Yesus mengumpulkan mereka dan menjernihkan pemahaman mereka (Mrk. 10:42-45.)

    Karena itu, sadarilah banyaknya kata yang Anda gunakan. Gunakanlah bahasa yang semenarik mungkin dalam bercerita dan bersikaplah selektif dalam pemilihan kata-kata.

  7. Yesus melibatkan pendengar-Nya dalam cerita.

    Seorang ahli Taurat yang ditanyai Yesus (Luk. 10:25-37) menjadi begitu terlibat dalam cerita tentang seorang yang dirampok oleh para penyamun. Dia menjadi begitu terpesona dengan pertolongan yang diberikan oleh seorang yang baik hati, tanpa menyadari bahwa dialah yang dimaksudkan sebagai seorang musuh. Tanpa kehilangan waktu, tiba-tiba Yesus masuk dengan pertanyaan yang mematikan, "Siapa di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Kata-kata Yesus ini bisa saja membuat orang marah karena merasa bahwa dirinya dibodohi, disindir, atau diolok-olok dengan tajam. Tetapi Yesus tidak melakukan hal itu. Yang Dia lakukan adalah mengatakan poin yang utama (pikiran-Nya) dengan cerita yang paling efisien terhadap seseorang yang benar-benar buta akan kebenaran. Seperti Yesus, kita bisa membuat cerita kita menjadi menarik dan memikat sehingga anak-anak menjadi terlibat dan berhubungan dengan tokoh cerita. Dan ini akan membantu mereka untuk mengakui kebenaran yang ingin kita sampaikan.

  8. Yesus selalu mengundang pendengar untuk menangkap inti pengajaran-Nya.

    Setelah menyatakan diri-Nya sebagai Cahaya Dunia, Yesus mengundang para pendengar untuk memberikan respons. Markus 4:21-23 mengatakan, "Orang membawa pelita bukan supaya ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidur, melainkan supaya ditaruh di atas kaki dian. Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan tersingkap. Barangsiapa memunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!"

    Memang Yesus tidak selalu meminta respons dari pendengar-Nya dan demikian juga kita. Tetapi sesekali, dalam waktu-waktu tertentu, anak-anak perlu diminta untuk memberikan respons agar kesetiaan dan pemahaman mereka dapat berkembang.

Diringkas oleh: Kristina Dwi Lestari

Kategori Bahan PEPAK: Guru - Pendidik

Sumber
Judul Artikel: 
Yesus Pencerita Ulung
Judul Buku: 
Gaya Bercerita yang Efektif
Pengarang: 
Ruth Alliston
Halaman: 
21 -- 38
Penerbit: 
Prestasi Pustaka Kasih, Jakarta 2005

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK

Komentar