Natal -- Selalu Penuh Rahasia


Jenis Bahan PEPAK: Bahan Mengajar

Phylis bukan anak yang mudah untuk dikasihi. Saya menginginkan yang terbaik baginya dan saya berdoa supaya Tuhan memberkatinya, tetapi kadang-kadang saya memang berharap ia tidak termasuk dalam kelompok Sekolah Minggu yang saya ajar. Rambutnya tidak pernah disisir, kuku tangannya kotor, dan hidungnya beringus. Ia menjauhi anak-anak yang lain dan kalau berjalan ia biasa menghentak-hentakkan kakinya. Selain itu, ia adalah seorang anak perempuan yang tidak pernah bisa duduk tenang, ia benci disentuh, dan kalau berbicara ia selalu tak mau mengalah.

Waktu itu saya berumur dua puluh tahun, dan tahun itu untuk pertamakalinya saya mempersiapkan sandiwara di gereja tua yang besar, Gereja Baptis Tabernakel di sebelah barat Chicago. Pada permulaan masa Advent, saya memegang lembaran ketikan naskah sandiwara Natal sambil berdiri di depan anak-anak yang berkumpul.

"Siapa yang mau mendapat peran yang terlibat dalam percakapan, angkat tangan," kata saya, dan hampir semua anak mengangkat tangannya. Tetapi, tentu saja tidak termasuk Phylis. Dan setelah membagikan peran untuk setiap anak yang berminat, saya masih mempunyai beberapa peran.

"Phylis," kata saya, "maukah kamu mengucapkan sedikit kata-kata dalam sandiwara Natal?"

"Siapa bilang saya mau ikut sandiwara?" katanya, sambil menyilangkan tangannya di depan dada dan duduk miring ke belakang sehingga kursinya hanya bertumpu pada ke dua kaki belakangnya. "Pada malam yang sama mungkin saya pergi ke pesta," katanya dengan angkuh.

Tuhan, saya berdoa dalam hati, tolonglah saya untuk mengasihi Phylis. "Tetapi kalau mau, saya masih mempunyai beberapa peran." "Tidak akan," kata Phylis dan memang ia tidak mau.

Pada waktu gladiresik sore hari, anak-anak duduk di bagian depan bangku gereja yang digelapkan. Mereka berbisik-bisik, sementara itu orang-orang dewasa merapikan penutup kepala gembala-gembala yang dibuat dari handuk mandi dan menyempurnakan letak lingkaran cahaya yang terbuat dari perada di sekeliling malaikat-malaikat.

"Baiklah ambil tempat masing-masing," teriak saya dari balik altar. Pembawa cerita mulai: "Pada waktu itu, dikeluarkan suatu keputusan ..." Saya merasakan desiran getaran halus. Sekali lagi saya terbawa ke dalam cerita yang indah ini.

"Maria tidak kelihatan seperti mau melahirkan bayi," tiba-tiba terdengar gumaman pelan yang serak di belakang saya. Phylis memang tidak mau ikut sandiwara, tetapi tentu ia tidak mau melewatkan gladiresik! "Ssst! bisik saya, sambil menepuk tangannya. Ia merenggut tangannya dan berkata, "Iya, iya!"

Di akhir adegan itu lampu sorot hanya menyinari keluarga yang kudus itu, dan anak-anak bersenandung menyanyikan lagu "Malam Kudus". Bagus sekali - tetapi siapa yang bergerak di depan palungan? Phylis! Anda tidak tahu dimana anak itu akan muncul. Sekarang ia memasukkan tangannya ke dalam palungan, meremas tangan boneka yang ada didalamnya, dan menghilang di tengah kegelapan.

"Phylis," kata saya, "apa yang kau lakukan di sana? "Saya hanya melihat-lihat." katanya. "Lagipula di dalamnya bukan bayi. Hanya sebuah boneka. Saya menyentuhnya." "Tuhan tolonglah saya untuk mengasihi Phylis."

"Baiklah," kata saya kepada para pemain. "Setiap orang harus sudah ada di sini jam setengah tujuh untuk berganti pakaian dan bersiap-siap supaya dapat dimulai tepat jam tujuh. Sampai nanti malam."

Phylis menghentakkan kakinya di sepanjang jalan di antara deretan tempat duduk, bersama anak-anak yang mau pulang. Mudah-mudahan pikir saya, ia sudah puas melihatnya sore ini dan tidak kembali malam nanti. Saya tahu pikiran seperti ini bukan sikap seorang guru Kristen, tetapi saya benar-benar mengharapkan supaya sandiwara itu berjalan dengan lancar.

Sekitar jam 18.45 suasana di balik panggung ramai dan sibuk. Para malaikat saling membantu mengenakan jubah yang terbuat dari sprai. Yusuf dan orang-orang majus mengatur kawat janggut yang dikaitkan di belakang telinga mereka. Maria memandang ke cermin mencoba untuk menangkap eksprsi yang tepat sebagai ibu Juruselamat. Saya berjalan dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain, membantu sebisa mungkin. Phylis tidak terlihat dan saya mulai tenang.

Satu menit sebelum jam tujuh, Ny. Wright masuk. Ia menggendong bayinya yang mungil yang baru lahir. Bayinya terbungkus kain putih, bayi ini akan mengganti boneka yang kami pakai dalam gladi resik. "Bayi ini baru disusui,jadi ia akan tidur selama sandiwara." katanya. "Anda dapat menaruhnya di palungan sesudah lampu dipadamkan," bisik saya.

Ketika suara piano mulai terdengar, saya duduk di kursi saya yang disediakan untuk juru bisik di barisan depan bangku gereja. Diiringi dengan alunan musik pembuka. Palungan disoroti cahaya lampu dan pembawa cerita memulainya.

Tetapi tidak ada rasa getaran seperti biasanya apabila saya mendengar awal cerita Natal, saya malahan merasakan sesuatu yang menghantam dan mendorong lutut saya. "Geser," terdengar suara yang sudah saya kenal betul. "Saya tidak jadi pergi ke pesta."

Tanpa melepaskan pandangan dari sandiwara yang sedang berlangsung, saya bergeser dan menepuk lutut Phylis. Tetapi ia menepiskan tangan saya kembali ke pangkuan saya. "Saya berusaha, ya Tuhan," kata saya dalam hati.

Para malaikat bernyanyi di depan para gembala. Para gembala kembali ke Betlehem dan mengambil anak domba untuk dipersembahkan kepada bayi Yesus. Orang-orang Majus menghadap raja Herodes, lalu mereka pergi ke palungan. Maria duduk di palungan "menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya". Bagus sekali. Phylis duduk dengan tenang sampai saya lupa ia berada di sebelah saya, tetapi waktu saya menyadari ia sudah pergi, sudah terlambat.

Ia menghentakkan kakinya menuju palungan seperti yang dilakukan waktu gladi resik. Tetapi kali ini ia terkejut, terpesona, lalu membalik, matanya terbelalak takjub, dan cepat-cepat kembali menemui saya.

"Dia hidup!" bisiknya dengan suara yang cukup keras. Dari barisan tempat duduk di sebelah seseorang bertanya "Apa katanya?" "Katanya, 'Dia hidup!'" Seperti riakan air kolam, kata-kata itu diteruskan dari barisan demi barisan sampai kembali lagi ke depan altar. "Dia hidup ... hidup ... hidup ..." Suasana menjadi gempar karena setiap orang merasakn hadirat Yesus.

Dan itu adalah alasan sebenarnya dari apa yang kita rayakan. Dia hidup! Imanuel - Tuhan beserta kita. Tuhan yang sudah menjelma menjadi manusia. Anak perempuan yang keras dan sukar dikendalikan sudah membawa kembali pesan Natal yang agung. Tuhan hidup!

Lampu dinyalakan, dan waktu kami berdiri menyanyi "Kesukaan bagi dunia", suara itu menggetarkan gereja kami yang besar dan tua, dan itu belum pernah terjadi sebelumnya.

Saya menaruh lengan saya di sekeliling bahu Phylis yang kecil dan sempit. "Kamu adalah bagian yang terbaik dari sandiwara ini," bisik saya, sambil menariknya ke arah saya. Phylis menjawab, "Saya tidak ikut sandiwara," katanya. Tetapi kali ini ia tidak mendorong saya.

Kategori Bahan PEPAK: Perayaan Hari Raya Kristen

Sumber
Judul Buku: 
Kisah Nyata Seputar Natal
Pengarang: 
-
Halaman: 
84 - 87
Penerbit: 
Yayasan Kalam Hidup
Kota: 
Bandung
Tahun: 
1989

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK

Komentar