Jika Anak Telah Kecanduan Video Game

Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Panas terik tidak dirasakan oleh Wahid dan Budi. Tanpa pulang terlebih dulu, langkah mereka segera bergegas menuju tempat penyewaan play station 2 (PS 2) dan video game. Lapar sepertinya tidak menjadi alasan mereka untuk menyelesaikan game konsol (video game console) terbaru, yang keluaran terbarunya selalu diburu oleh para pencandu video game. Jari mereka memencet-mencet tombol konsol yang ada di tangannya. Sementara matanya tak lepas dari layar monitor yang tengah menayangkan gerak akrobatis tokoh yang dikendalikannya. Mengatasi rintangan sambil menghadapi musuh-musuhnya. Begitu tokohnya mati dan permainan berakhir, dia segera mengulang dari awal dengan rasa penasaran. Tidak cukup satu atau dua jam, Wahid dan Budi bisa sampai berjam-jam sebelum dia benar-benar bisa memecahkan rasa penasaran akan permainan itu.

Ilustrasi di atas adalah kejadian nyata yang mungkin juga pernah Anda temui pada saudara, teman, atau bahkan anak didik Anda di sekolah minggu. Disadari atau tidak, dewasa ini video game bak candu bagi anak-anak kita. Masalah ini bisa menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan jika tidak ada kontrol atau perhatian yang serius dari orang tua, sekolah, atau pihak lain seperti sekolah minggu.

Kata candu diasumsikan sebagai sesuatu yang menjadi kegemaran (KBBI 2001: 191). Candu video game ibarat sesuatu kegiatan yang amat disukai oleh seseorang dan menyebabkan seseorang menjadi ketagihan sehingga melakukannya secara terus-menerus. Kecanggihan game di abad 21 ini dirasa berkembang pesat dan semakin banyak dibuat. Anda bisa membuktikannya manakala Anda sedang berkunjung di sebuah pusat perbelanjaan dan melewati sebuah toko yang menyediakan peranti-piranti video game dan play station. Para konsumen berjubel mulai dari orang dewasa sampai anak-anak mengantri hanya untuk membeli game-game terbaru.

Mark Griffiths, seorang pakar video game, mengungkapkan bahwa game bisa membuat orang lebih bermotivasi. "Video game abad ke-21 dalam beberapa segi lebih memberi kepuasan psikologis daripada game tahun 1980-an." Untuk memainkannya perlu ketrampilan lebih kompleks, kecekatan lebih tinggi, serta menampilkan masalah yang lebih relevan secara sosial dan gambar yang lebih realistis. Kata kunci dari pernyataan tersebut adalah "kepuasan psikologis", di mana anak terdorong untuk menuntaskan dan memenangkan permainan yang berada di video game tersebut.

Mari bersama-sama melihat sejauh mana dampak negatif video game yang bisa sampai menjadi candu bagi anak-anak kita. Dampak di sini tidak bersifat sementara, namun dapat bersifat jangka panjang. Dalam jangka panjang, salah satu dampaknya adalah banyaknya waktu yang sedikit banyak berpengaruh pada perkembangan aspek pendidikan, kesehatan, keadaan psikis anak, dan kehidupan sosial anak.

  1. Aspek Pendidikan
    Mohammad Fauzil Adhim, dalam artikelnya, berpendapat bahwa anak yang gemar bermain video game adalah anak yang sangat menyukai tantangan. Anak-anak ini cenderung tidak menyukai rangsangan yang daya tariknya lemah, monoton, tidak menantang, dan lamban. Hal ini setidaknya berakibat pada proses belajar akademis. Suasana kelas seolah-olah merupakan penjara bagi jiwanya. Tubuhnya ada di kelas tetapi pikiran, rasa penasaran, dan keinginannya ada di video game. Sepertinya sedang belajar, tetapi pikirannya sibuk mengolah bayang-bayang game yang mendebarkan. Kadangkala anak juga jadi malas belajar atau sering membolos sekolah hanya untuk bermain game.

    Uniknya, beberapa penelitian mengatakan bahwa anak yang fanatik bermain game biasanya merupakan individu yang berintelijensi tinggi, bermotivasi, dan berorientasi pada prestasi. Namun, kecanggihan game yang terus berkembang dan makin bertambah banyak pada abad 21 ini, masih menimbulkan tanda tanya apakah game berpengaruh pada orientasi prestasi seseorang.

  2. Aspek Kesehatan
    Dari sisi kesehatan, pengaruh kecanduan video game bagi anak jelas banyak sekali dampaknya. Untuk menghabiskan waktu bermain game, anak yang telah kecanduan ini tidak hanya membutuhkan waktu yang sedikit. Penelitian Griffiths pada anak usia awal belasan tahun menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu digunakan anak untuk bermain video game setiap hari. "Yang lebih mengkhawatirkan, sekitar 7%-nya bermain paling sedikit selama 30 jam per minggu." Selama itu anak kita hanya duduk sehingga memberi dampak pada sendi-sendi tulangnya. Seperti dikemukakan Rab A.B., di London terdapat fenomena "Repetitive Strain Injury" (RSI) yang melanda anak berusia tujuh tahun. Penyakit ini semacam nyeri sendi yang menyerang anak-anak pecandu video game. Jika tidak ditangani secara serius dampak yang terparah adalah menyebabkan kecacatan pada anak. Hal semacam inilah yang seharusnya patut kita perhatikan.
  3. Aspek Psikologis
    Berjam-jam duduk untuk bermain video game berdampak juga pada keadaan psikis anak. Anak dapat berperilaku pasif atau sebaliknya anak akan bertindak sangat aktif atau agresif. Perilaku pasif yang biasa muncul adalah anak jadi apatis dengan lingkungan sekitar, kehidupan sosialisasi anak agak sedikit terganggu karena anak jauh lebih senang bermain dengan game-gamenya daripada bergaul dengan teman-temannya. Video game dapat juga menyebabkan anak dapat berperilaku aktif bahkan bisa agresif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh game-game yang dewasa ini banyak menghadirkan adegan kekerasan. Dalam waktu selama itu anak hanya berinteraksi dengan kekerasan, gambar yang bergerak cepat, ancaman yang setiap detik selalu bertambah besar, serta dorongan untuk membunuh secepat-cepatnya. "Anak mengembangkan naluri membunuh yang impulsif, sadis dan ngawur," tambah Fauzil Adhim. Sangat mengerikan sekali jika tidak ada kontrol dari orang tua untuk menyikapi hal tersebut.

Adalah tugas semua pihak, baik dari institusi sekolah, orang tua maupun guru sekolah minggu untuk lebih memerhatikan fenomena video game yang terlalu dalam mempengaruhi anak. Jika anak kita belum terlanjur kecanduan video game ambillah langkah yang bijak dalam menangani masalah ini. Berikut langkah yang bisa diambil.

  1. Berikan waktu luang dan perhatian yang banyak kepada anak-anak Anda. Ada kesan bahwa orang tua yang sibuk bekerja dengan mudah menyediakan perangkat video game hanya karena alasan tidak mau repot dengan anak. Mereka mau membelikan apa pun asalkan dapat membuat anak diam. Seharusnya, orang tua boleh memberikan mainan yang anak minta asalkan ada kendali juga dari orang tua. Padahal cara ini bisa berdampak pada lemahnya ketrampilan emosi anak. Mereka tidak belajar bagaimana mengelola keinginan atau mengambil pertimbangan, tegas Fauzil Adhim.
  2. Orang tua harus lebih selektif dalam mencarikan mainan buat anak-anaknya. Sebisa mungkin permainan yang mempunyai unsur edukatif bukan permainan yang mempertontonkan adegan kekerasan.
  3. Buatlah sebuah peraturan yang dibuat oleh Anda dengan anak Anda secara bersama-sama. Di antaranya perihal batasan waktu antara anak bermain game, belajar, dan kegiatan sosialisasi anak dengan teman-temannya.
  4. Orang tua harus menanamkan pemahaman keagamaan kepada anak dengan baik. Dari segi kerohanian, orang tua dapat melibatkan anak secara aktif dalam kegiatan sekolah minggu, mengadakan doa atau saat teduh bersama anak di rumah. Sebab hal ini akan berpengaruh kepada moral anak. Singgih D. Gunarsa menegaskan bahwa moral anak dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan teman-teman sebaya, segi keagamaan, juga aktivitas-aktivitas rekreasi (2003: 40-45). Aktivitas rekreasi di dalamnya meliputi film, radio, televisi, video game, dan buku-buku.

Bagaimana jika Anda saat ini sedang menghadapi anak yang telah terlanjur kecanduan dan sulit sekali mengubah kebiasaan bermain gamenya? Bahwa anak jadi mengorbankan kegiatan sosialnya, enggan mengerjakan PR, dan ingin mengurangi ketergantungannya tapi tak bisa adalah beberapa indikasi anak kecanduan video game. Memang perlu usaha yang keras untuk dapat mengembalikan keadaan anak seperti semula. Apakah anak perlu diterapi? Mungkin saja jika tarafnya sudah sedemikian parahnya. Orang tua harus melibatkan ahli-ahli lain untuk mengembalikan anak pada kondisi normal, bisa belajar berpikir dengan baik, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sekolah, serta dapat mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah dengan wajar. Menurut Fauzil Adhim, terapi juga diarahkan agar anak bisa belajar mengelola emosinya, mampu menghidupkan perasaannya dengan baik dan sehat, serta belajar menumbuhkan inisiatif positif.

Sudah saatnya kita sebagai pembimbing anak untuk mengambil bagian dari usaha meminimalisir serangan teknologi yang semakin berkembang ini. Selamat melayani anak-anak Anda dan selamat membentengi mereka dengan norma-norma yang sesuai dengan perintah Tuhan kita Yesus Kristus.

Oleh : Kristina Dwi Lestari

Sumber bacaan:

Gunarsa, D. Singgih. 2003. "Psikologi Perkembangan". Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Jakarta: Balai Pustaka.
Adhim, Mohammad Fauzil. 2006. "Memenjarakan Anak dengan Kebebasan".
Dalam http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid(at)yahoogroups.com/msg01826.html
A.B., Rab. 2006. "Dampak Video Games Pada Anak Perlu
Diwaspadai".
Dalam http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=491&page=2

Kategori Bahan PEPAK: Anak - Murid