Orang Majus yang Unik

Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Oleh: Tema Adiputra Perayaan Natal saat aku duduk di kelas 3 SD di Kebayoran Baru, Jakarta, masih terekam kuat dalam benak dan hatiku. Terbukti dengan tetap teringatnya nama guru sekolah mingguku, Ibu Anna, dan nama pembina sekolah minggu, Ibu Wirakotan (istri Pdt. Wirakotan yang melayani GKI Kebayoran Baru). Itulah Natal pertamaku dan juga tahun pertamaku sebagai murid sekolah minggu di Jakarta, sejak aku datang dari Sibolga, Tapanuli Tengah, dan merantau ke ibu kota negara RI ini. Aku tinggal bersama

Oleh: Tema Adiputra

Perayaan Natal saat aku duduk di kelas 3 SD di Kebayoran Baru, Jakarta, masih terekam kuat dalam benak dan hatiku. Terbukti dengan tetap teringatnya nama guru sekolah mingguku, Ibu Anna, dan nama pembina sekolah minggu, Ibu Wirakotan (istri Pdt. Wirakotan yang melayani GKI Kebayoran Baru). Itulah Natal pertamaku dan juga tahun pertamaku sebagai murid sekolah minggu di Jakarta, sejak aku datang dari Sibolga, Tapanuli Tengah, dan merantau ke ibu kota negara RI ini. Aku tinggal bersama abang tertuaku yang baru menikah dan ia membiayaiku.

Sebagai anak "ingusan" yang berasal dari daerah, tentu saja ada sedikit perasaan minder saat bergaul dengan teman-teman sekolah minggu itu. Bayangkan, bergaul dengan anak-anak Jakarta, yang tinggal di Kebayoran Baru pula -- bagian kota Jakarta yang dihuni oleh sebagian besar orang-orang kaya. Sekalipun rumah abangku terletak di jalan Panglima Polim, itu hanyalah sebuah paviliun yang dikontrak. Nah, pada Natal tahun 1970 itu, gereja mendapat kado istimewa dari TVRI -- satu-satunya siaran televisi waktu itu, dan masih berlayar hitam putih -- berupa undangan bagi sekolah minggu untuk mengisi acara Natal di TVRI. Wah ..., betapa senangnya kami. Apalagi aku, orang kampung ini, baru setahun di Jakarta, sudah berkesempatan masuk televisi, dan siaran langsung pula! "Wah ... wah ..., terkenallah nanti awak ini," demikian gumamku dalam hati. Maka, kami sibuk latihan drama Natal secara intensif. Aku mendapat peran sebagai salah satu dari orang majus yang datang member ikan persembahan untuk Bayi Yesus.

Kami berlatih di gereja. Dari sore sampai malam. Sepulang latihan, teman-temanku banyak yang dijemput oleh orang tuanya dengan mobil, sementara aku pulang berjalan kaki karena jarak rumah dan gereja hanya sekitar 10 menit. Bagiku, latihan-latihan itu cukup menguras tenaga. Sekalipun aku masih duduk di kelas 3 SD, sejak pagi tenagaku sudah cukup terkuras. Aku harus mengepel dan membersihkan rumah, menyetrika, juga berbelanja ke pasar, yang jaraknya sekitar 20 menit dari rumah (pasar ini dekat sekolahku). Kemudian memasak nasi dan sayur, bergantian dengan abangku yang satunya. Setelah semua selesai, baru pergi ke sekolah. Ada tugas tambahan mengasuh anak pertama abang tertuaku. Dan, yang tidak boleh tertinggal ialah mengerjakan PR! Dalam suasana seperti inilah aku "menikmati" sekolah minggu dan persiapan tampil di TVRI itu untuk bermain drama Natal.

Hari untuk pentas di TVRI sudah semakin dekat. Kami semakin bedebar-debar. Segala persiapan teknis terus dilakukan, terutama kostum. Aku dan teman-teman yang berperan sebagai orang majus pun mulai sibuk. Kami diberi pengarahan mengenai kostum orang majus itu untuk diberitahukan kepada orang tua masing-masing. Ya, pada prinsipnva kostumnya seperti yang biasa dipakai para pemain drama Natal di mana pun. Berbentuk jubah! Aku pun memberitahukan hal ini kepada kakak iparku (karena dialah pengganti Ibu selama ini). Aku mengatakan bahwa perlu menjahit jubah dari bahan kain panjang. Dan, harus segera dibuat karena waktu pentas di TVRI semakin dekat. Hmm ..., aku membayangkan apa yang kuminta itu tentu tidak akan bermasalah. Namun ternyata, kostum orang majus yang akan kupakai nanti tidak berbentuk jubah, tetapi kimono yang akan dipinjamkan dari Tante -- kakak dari kakak iparku! Duhhh ..., betapa terkejutnya aku, betapa sedih hatiku, betapa malunya aku terhadap dua orang temanku yang memerankan orang majus dalam drama itu. Wah ..., bagaimana, nih? Selayaknya anak kecil, tentu saja kucoba lagi meminta kepada kakak iparku untuk menyediakan jubah, namun tetap saja kimono yang akan disediakan karena untuk menghemat biaya! Yah, aku pun tak berkutik. Dengan sedikit malu dan juga sedih, aku berusaha tampil sebaik mungkin dalam drama Natal di TVRI. Syukurlah, waktu itu, warna televisi masih hitam putih. Karena kalau tidak, warna merah menyala kimono milik Tante itu dapat menyilaukan mata pemirsa!

Ya, begitulah ... dalam sorotan lampu yang terang di studio TVRI, dalam acara "live" drama Natal anak-anak Sekolah Minggu GKI Kebayoran Baru, orang majus memberikan persembahan untuk Bayi Yesus di palungan. Kalau diperhatikan, salah satu dari orang Majus yang mempersembahkan mur itu mengenakan jubah yang berbeda, he he he. Semoga waktu itu, pemirsa tidak berkata, "Ada orang Jepang kesasar di Bethlehem!" Dan bersyukur pula, orang majus yang berkimono itu tak langsung tidur malam di studio TVRI usai bermain drama! Ia masih ingat pulang ke rumah!

Apakah aku "ditakdirkan" untuk berperan sebagai orang majus di acara drama Natal? Wah, mana kutahu, bah! Sebagai pengikut Kristus, tentu aku tidak boleh percaya pada "takdir-takdiran". Namun, ternyata pada saat duduk di bangku kuliah di kampus Rawamangun, sesuatu terulang lagi dalam kehidupanku. Kala itu aku sudah pindah rumah ke daerah di dekat Menteng, Jakarta Pusat (mengikuti keluarga abang tertuaku). SMA-ku pun berlokasi di dekat stasiun kereta api Gambir. Oleh sebab itu, aku bergereja di GKI Kwitang, Jakarta Pusat. Di gereja inilah aku aktif di persekutuan pemuda-remaja. Dan, di gereja ini juga, aku memperoleh baptis sidi yang dilayani oleh Pdt. Sam Gosana.

Suatu saat, saudaraku, guru sekolah minggu di gereja itu, mengajakku ikut bergabung dalam drama Natal yang akan dipentaskan di gedung pertemuan Granada Semanggi (kami suka menyebutnya gedung Piring Terbang). Memang, waktu itu GKI Kwitang memusatkan perayaan Natal di gedung besar itu untuk menghindari perayaan Natal yang harus dilakukan berkali-kali karena gedung gereja tidak sanggup menampung jumlah jemaat yang ada. Dan, aku mau menerima tawaran itu, karena memang drama Natal ini terbuka untuk seluruh jemaat. Nah, saat dilakukan "casting" ... aku terpilih lagi sebagai salah satu dari orang majus itu! Yah ..., kunikmati sajalah!

Mulailah kami berlatih. Sutradara drama Natal ini adalah Bapak Montolalu. Beliau sangat demokratis dan sangat memerhatikan talenta orang-orang yang dilatihnya. Bahkan, "setting" drama Natal ini pun tidak bernuansa Timur Tengah, tetapi bernuansa orang-orang desa di Indonesia. Ini satu pengalaman manis untukku saat mengikuti drama Natal tersebut. Waktu itu, aku bisa memainkan beberapa alat musik sebagai "bakat alam", tidak sampai mahir betul. Salah satunya memainkan harmonika. Aku mengusulkan kepada saudaraku, guru sekolah minggu itu, untuk memakai musik-musik agar drama Natal tersebut lebih menarik. Usulanku disampaikannya pada Bapak Montolalu. Setelah diuji waktu latihan, akhirnya aku ditunjuk menjadi penanggung jawab musik drama Natal itu. Dan, semua pemain pun memberi dukungan, maka dengan senang hati aku melakukan tugas tambahan tersebut. Aku sibuk mencari musik di kaset-kaset, sampai merekam permainan musik harmonikaku di rumah seorang jemaat. Semua kuj alani dengan "enteng" karena memang hobi.

Kemasan drama Natal ini memang lain dari biasanya. Selain menggunakan kostum pedesaan, juga turut serta seekor burung kakaktua sebagai pelengkap. Nah, bagaimana dengan kostum orang-orang majus? Kali ini kostum utamanya berupa kain sarung yang digantung di pundak, memakai celana panjang petani, dan berkaus oblong! Persembahan yang dibawa untuk Bayi Yesus pun bukan emas, kemenyan, dan mur, melainkan berupa hasil ladang! Pokoknya, semua pemain tampil dengan kostum warna-warni khas orang pedesaan. Kecuali Raja Herodes dan timnya, tampil dengan kostum lebih semarak.

Tiba saatnya kami "manggung" di gedung Granada kebanggaan orang Jakarta ini. Jemaat yang hadir dalam perayaan Natal tersebut hampir memenuhi semua bangku yang ada. Kami yang berada di "floor" bersiap tampil di pangung. Pembawa acara pun memberi tanda bahwa drama Natal dimulai! Satu per satu pemain pun bergaya di pangung. Sampai kemudian, orang majus pun mendapat giliran memberikan persembahan kepada Bayi Yesus. Ketika giliranku, inilah kata-kata yang terucap dengan tenang dan polos: "Oh, Mesias ... terimalah persembahanku ini, yang hanya berupa sayur-mayur, ubi, dan singkong!" (Dan ..., gerrrrrrrr ... aku mendengar jemaat tertawa!) Hmm ..., sungguh drama tersebut sangat berkesan bagiku, sampai sekarang terus teringat.

Perayaan Natal yang kita nikmati dan kita lakoni masih berlangsung sampai sekarang. Bahkan, drama Natal dari tahun ke tahun tetap sama, dan kita masih senang menontonnya. Apakah hal ini karena hanya ditampilkan setahun sekali? Ataukah memang ada sisi melankolik yang menyentuh emosi dan mata rohani kita di penghujung tahun? Sebuah sentuhan perenungan hidup setelah hampir 12 bulan bekerja keras mempertahankan dan mengembangkan kehidupan kita pribadi maupun keluarga kita? Tentu, setiap orang akan memiliki pandangannya masing-masing.

Bagiku, perayaan Natal yang kualami saat kelas 3 SD itu telah menghadirkan sesuatu yang sangat berkesan dan sangat dalam. Jelas, sebagai orang udik yang baru mengecap atmosfer kota Jakarta, keikutsertaanku dalam drama Natal di sekolah minggu itu merupakan lompatan budaya sekaligus sebagai lompatan kehidupan rohani. Tak sedikit "peperangan batin" kualami manakala mulai beradaptasi dalam pergaulan dengan teman-teman di sekolah minggu, sampai akhirnya puncaknya adalah kerja sama dalam bermain drama Natal di TVRI! Tentu saja aku sangat berterima kasih pada abang tertuaku dan istrinya. Mereka telah menunjukkan tanggung jawabnya pada seorang "anak" dan juga pada Tuhan. Mereka tidak ingin aku -- yang dipercayakan kepada mereka -- menjadi orang yang "semau gue", boros, manja, dan tidak takut akan Tuhan! Hmm ..., tentu pada waktu itu -- sebagai anak kecil -- aku masih ingat saat di mana aku menangis meraung-raung karena dimarahi. Aku menangis meraung-raung di lantai sampai masuk ke kolong sofa panjang di ruang tamu. Aku memanggil-manggil Ibu! Yah, itu telah menjadi secuil bagian sejarah hidupku.

Drama Natal tersebut juga telah menjadi sebuah batu loncatan, yang mungkin tidak kusadari. Dan, aku telah melihat dampaknya saat ini. Tuhan telah meletakkan bakat seni dalam diriku (kami sekeluarga senang bernyanyi dan bermain musik). Dan, bakat seni itu terus berkembang sampai sekarang. Siapa yang menyangka, ketika aku aktif di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampus, salah satu bakatku yang tersalurkan adalah membuat naskah-naskah drama Natal dan Paskah, sekaligus menyutradarainya? Bahkan, drama Natal yang kubuat di akhir perkuliahanku dipesan untuk manggung di perayaan Natal sebuah gereja di aula Kelapa Gading Sport Club. Juga, pada saat aku merangkap profesi sebagai guru dan penyiar radio, di SMA tempat aku mengajar, dengan senang hati aku membuatkan naskah drama Natal sekaligus menyutradarainya. Puji Tuhan, naskah-naskah ini pun diizinkan Tuhan untuk dipentaskan oleh sekolah lain dan gereja tertentu.

Peran sebagai salah "seorang" dari orang majus yang memberi persembahan kepada Bayi Yesus, telah memberi pesan khusus kepadaku. Dua kali aku melakoni peran itu. Dan, persembahan yang diberikan pun berbeda. Bagiku, hal ini bermakna ketulusan hati dalam memberi persembahan kepada Tuhan, apa pun bentuknya. Ketika ketulusan melingkupi hati kita, sejauh apa pun jaraknya, tetap kita tempuh. Seberat apa pun tantangan yang menghadang, tetap kita hadapi dan singkirkan, demi memberikan persembahan kepada Pribadi yang kita kasihi, kita hormati, dan kita agungkan!

Orang-orang majus itu datang dari Timur ke Yerusalem. Kemudian bintang yang mereka lihat di Timur itu menuntun mereka menuju tempat Sang Bayi dilahirkan, di Bethlehem. Maka, masuklah mereka ke rumah itu, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan menyerahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan, dan mur.

Orang-orang majus telah membuktikan kasih mereka kepada-Nya. Akankah kita selalu ingat bukan sekadar pada orang-orang majus itu? Ada kasih yang melebihi kasih orang-orang majus itu! Dalam sebuah peran lain ketika bermain drama Natal, juga saat aku masih di sekolah minggu -- kami berlima tampil ke depan panggung. Di leher kami tergantung tali yang mengikat kertas besar terjurai sampai perut. Kertas itu terbalik, padahal berisi sebuah huruf. Aku, sebagai orang pertama, membalikkan kertas itu, maka muncullah huruf "K". Dan selanjutnya, keempat temanku pun membalikkan kertasnya sehingga berurutanlah huruf itu menjadi: K-A-S-I-H. Yang paling kuingat adalah huruf "K" milikku itu. Aku pun meneriakkannya dengan suara nyaring agar didengar seluruh hadirin: "K ... 'Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal'" (Yohanes 3:16) .

Kategori Bahan PEPAK: Perayaan Hari Raya Kristen

Sumber
Judul Buku: 
My Favourite Christmas
Pengarang: 
Tim Penulis GCM
Halaman: 
93 -- 104
Penerbit: 
Gloria Cyber Ministries
Kota: 
Yogyakarta
Tahun: 
2006