Melatih Anak untuk Mempunyai Prinsip

Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Salah satu penyebab mengapa menjadi orang tua pada abad ini sangat susah adalah karena pikiran kita ditantang oleh melimpahnya godaan yang dialami anak-anak kita. Kita bertanya dengan waswas dalam diri kita, "Mampukah saya mendidik mereka hingga mencapai masa depan yang baik? Bukankah kredibilitas saya bakal tercermin lewat anak-anak saya?"

Ada banyak contoh yang membuktikan bahwa menumbuhkan kebiasaan doa dan membaca Alkitab dalam keluarga tidak menjadi jaminan bahwa anak bertumbuh dengan baik. Saya mengenal keluarga hamba Tuhan yang terkenal. Mereka hebat dalam berkhotbah dan mengajar sampai menarik ribuan bahkan puluhan ribu orang Kristen, tetapi punya anak nakal dan pecandu obat terlarang. Padahal, dalam keluarga ini "family altar" menjadi "sarapan pagi". Sebaliknya, tidak sedikit keluarga yang tidak mempedulikan suasana rohani bagi anak-anaknya, tetapi justru menjadi keluarga yang berhasil. Anak-anak mereka menjadi sarjana, mendapat pekerjaan baik, menikah, dan mereka juga hidup mandiri.

Sebenarnya, bukan hanya narkoba yang menjadi tantangan anak-anak kita. Banyak hal lain: misalnya seks bebas, konsumerisme atau kemanjaan, nafsu/keinginan (hedonis), judi, kekerasan, dll..

Jadi, bagaimana seharusnya? Membiarkan anak-anak memilih jalan sendiri atau cukuplah dengan membimbing mereka sejak dini dalam memahami isi Alkitab?

Yang utama: Teladan

Anak itu anugerah! Setiap orang tua harus menyadarinya. Setiap kali Tuhan menitipkan seorang anak dalam keluarga, Tuhan punya rencana atas anak dan keluarga itu. Sebagai orang percaya, kita beriman bahwa anak-anak kita juga adalah anak-anak yang sudah diselamatkan Tuhan, bukan saja waktu mereka menyatakan diri sebagai orang percaya (baptis atau sidi), tetapi sejak mereka ada dalam kandungan. Agar penyelamatan Tuhan itu dialami anak-anak kita pada waktunya, kita harus menyediakan waktu secara khusus untuk membimbing dan mendidik mereka dalam mengenal Juru Selamat.

Saya tidak percaya pada orang yang berkata, "Yang penting kualitas waktunya." Itu hanya perkataan orang tua untuk membenarkan diri. Siapa yang memberi nilai pada "kualitas waktu" kita untuk anak? Pada usia berapa pun, setiap anak membutuhkan orang tua di sampingnya.

Bagaimana perasaan anak jika hanya pembantu yang ditemuinya di rumah? Hubungan ibu dan anak sangat penting pada tahun-tahun pertama seorang anak karena dapat mempengaruhi masa dewasa mereka. Sayangnya, walaupun hasil riset memiliki dampak yang baik, faktanya para ibu memiliki berbagai alasan untuk tetap lebih senang bekerja daripada bersama anak-anak mereka (misalnya, karena kebutuhan materi atau status).

Anak-anak membutuhkan orang tua untuk dijadikan teladan. Jika orang tua jarang di rumah, siapa yang akan diteladani? Anak-anak ingin belajar dari orang tuanya bagaimana menghadapi kesulitan, mereka ingin diskusi, mengobrol, dan bercerita. Mereka punya orang tua yang bisa mereka percaya dan mengerti isi hati mereka.

Berikan Masukan Berharga

Dewasa ini, televisi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam sebuah keluarga. Hendaknya orang tua berhati-hati terhadap dampaknya. Jangan sampai acara televisi mengatur jadwal kita. Saya mengusulkan agar orang tua membelikan anaknya buku-buku yang baik, yang berisi banyak teladan baik agar pemikiran anak diisi hal-hal baik. Kalau bisa, tontonlah film-film yang ditonton lewat VCD. Tujuannya agar perhatian anak dari televisi teralihkan. Untuk itu, mendampingi mereka saat menonton menjadi suatu keharusan.

Pada usia balita, sebaiknya anak-anak jangan diperkenalkan pada kekerasan yang terdapat di film-film maupun siaran berita TV. Pada usia ini, anak-anak hanya meniru saja apa yang mereka lihat. Karena itu, jangan pernah katakan, "Anak nakal!" pada anak Anda, apalagi jika umurnya baru 1 -- 3 tahun! Siapa sih, yang ditirunya sampai Anda menyebutnya nakal? Jangan-jangan, dia hanya meniru kelakuan artis di sinetron yang Anda tonton bersamanya atau meniru Popeye meninju Brutus sampai terlempar ke langit.

Orang tua harus kreatif mencari kegiatan agar anak-anak tidak hanya duduk menonton TV, apalagi kalau sampai membuatnya tidak pergi ke sekolah minggu. Sebagai orang tua, kita harus menahan diri; jangan sampai anak enam tahun menonton sinetron "Intan", sekalipun mungkin itu adalah tontonan favorit kita. Itu bukan acara untuk usianya. Lebih baik, gunakan waktu untuk bercerita dan bermain bersama mereka.

Untuk anak remaja, kita perlu melatih mereka menilai sebuah film yang Anda tonton bersama atau mengomentari bacaan yang mereka baca. Dalam diskusi itu, kita dapat menyisipkan nilai-nilai baik yang perlu mereka ketahui dan lakukan, juga nilai-nilai buruk yang harus dijauhi.

Usia 9 -- 10 tahun merupakan saat paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai kristiani dalam diri seorang anak. Apa yang dibaca, diceriterakan, dan didengar pada usia ini, umumnya akan lama diingat. Hal yang sebaliknya akan terjadi, kalau yang diterima anak pada usia ini adalah hal-hal buruk.

Dilatih untuk Mempunyai Prinsip

Bacaan yang baik, hubungan yang dekat dengan orang tua, bekal spiritual yang sangat menolong anak untuk memiliki kepercayaan diri. Seorang murid kelas 5 SD ditantang oleh temannya, "Merokok itu enak 'lho', gagah. Coba deh! Kamu jadi keren, tidak kampungan 'gini'!"

Anak yang percaya diri akan menjawab, "Itu kata kamu. Buat saya, tidak merokok baru keren!" Sebaliknya, anak yang tidak percaya diri akan mudah terpengaruh. Di rumah, orang tua perlu menanyakan pada anak-anak apakah mereka pernah ditawari sesuatu oleh teman mereka. Jika hubungan dengan anak baik, anak akan dengan senang hati menceritakan pengalamannya di sekolah.

Saya mengenal seorang anak berusia lima tahun yang menolak diberi es krim oleh orang tua temannya di pesta ulang tahun. Sambil memandang es krim tersebut dengan penuh keinginan, si anak menggelengkan kepalanya. "Aku alergi dingin, nanti batuk," katanya. Di tempat terpisah anak itu menjelaskan pada saya, "Kata dokter, kalau aku sudah SD, alergiku hilang, aku boleh makan es krim lagi. Sekarang belum boleh." Inilah anak yang punya bekal pandangan matang ke masa depan.

Orang tua juga perlu tahu apakah anaknya punya stres tertentu di sekolah atau di lingkungan rumah. Misalnya, takut terhadap suatu pelajaran, takut pada seorang guru atau teman. Bisa juga, anak itu tertekan karena melakukan perbuatan kriminal, misalnya mencuri, dan ketahuan. Anak-anak yang stres sangat mudah dipengaruhi untuk melakukan hal-hal negatif.

Untuk mengerti tekanan-tekanan yang sedang dihadapi anak, kita harus terlebih dulu berusaha membangun kepercayaan anak terhadap kita. Anak-anak harus yakin bahwa kita tidak akan menghakimi atau membuat mereka malu.

Jangan Putus Asa

Jangan putus asa jika anak-anak kita sudah terlanjur jatuh dalam kegiatan narkotika dan obat-obatan terlarang. Asal kita mengerti saja, pasti ada yang salah dalam keluarga kita. Jangan saling menyalahkan. Temukan saja kesalahannya dan usahakan untuk memperbaikinya. Tidak perlu malu kredibilitas kita akan jatuh di depan orang lain.

Anak-anak demikian perlu diobati, jangan dijauhi apalagi dianggap sampah. Biarkan Tuhan mengerjakan apa yang tidak mampu kita tangani dan kita melakukan apa yang mampu kita lakukan. Bila perlu, ajaklah dia untuk melakukan terapi fisik, terapi mental, dan konseling rohani. Orang tua tidak perlu malu. Doakan terus, sampai Tuhan memenuhi janji penyelamatan-Nya.

Mungkin sebulan, setahun, bisa juga seumur hidup kita. Waktu Tuhan, itu yang terbaik! Dalam teks Yunani, kata "asuh mereka" bersifat aktif, yang diberi tekanan dan dalam waktu sekarang. Kata itu secara aktif berarti anak tidak secara otomatis dapat bertumbuh seperti yang Tuhan inginkan dari mereka. Hal itu menunjukkan bahwa anak tidak dapat membawa dirinya secara tepat. Firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa anak yang membawa diri dan kemauan sendiri akan membuat malu ibunya (Amsal 29:15).

Alkitab menegaskan bahwa apabila orang tua mengizinkan anaknya bertumbuh dalam keinginan mereka sendiri, anak itu akan membawa hal yang memalukan bagi orang tuanya. Allah tidak menginginkan anak bertumbuh sekehendak hatinya. Sebab itu, Allah memberikan orang tua yang secara aktif terlibat dalam pemeliharaan anak, sesuai dengan keinginan Allah.

Dalam kalimat "asuh mereka" atau "pelihara mereka" masih ada hal lain yang dapat dilihat, yaitu:

1. Kita harus memelihara dan mengasuh anak untuk mengenal dan percaya dalam Yesus Kristus (Markus 12:13).

2. Kita harus menjadikan anak kita sebagai murid Yesus Kristus yang sungguh (Yakobus 1:21-25).

Tujuan kita mendidik adalah agar anak-anak disiplin dalam jalan Tuhan sehingga tingkah laku, pola, dan jalan hidup mereka mulai merefleksikan keserupaan dengan Tuhan Yesus. Secara objektif, kita harus mendidik mereka dalam pemikiran, sikap, dan tindakan yang dapat mencerminkan keserupaan dan gaya hidup kekristenan yang diperintahkan dalam Alkitab.

Menjadi orang Kristen dewasa membutuhkan kedaulatan pekerjaan Allah karena hanya Allah yang dapat menyelamatkan dan menguduskan. Membawa anak untuk mengenal Yesus Kristus tidak hanya sampai di situ saja, tetapi membawa mereka menjadi dewasa, dengan membuat mereka melakukan kebenaran yang mereka dapatkan dari Yesus. Seperti dalam Amanat Agung, Yesus menyuruh murid-murid-Nya untuk memuridkan orang, yang berarti mengenal kebenaran, taat kepada kebenaran, melakukan kebenaran, merasa dihibur dan diubahkan oleh kebenaran. Demikianlah tanggung jawab sebagai orang tua.

Membesarkan Anak dalam Tuhan

Berlawanan dengan pendapat kebanyakan orang, anak bukanlah malaikat cilik. Alkitab mengatakan bahwa anak yang dibiarkan akan mempermalukan ibunya (Amsal 29:15). Hal ini terjadi karena kebodohan mengikat hati seorang anak (Amsal 22:15). Mereka adalah anak yang dimurkai (Efesus 2:3). Mereka terpisah (dari Allah) semenjak dari kandungan ibu (mazmur 51:5, 58:3). Secara natural, anak tidak berlaku benar, sesungguhnya perilakunya berlawanan dengan kebenaran.

Konsekuensinya adalah kita menolong mereka untuk memilih yang benar, belajar melakukan hal yang benar, dan hidup sesuai dengan jalan yang benar. Allah mengatakan bahwa mereka perlu didisiplin. Disiplin mengarah kepada penguatan keinginan belajar, dengan memakai struktur atau belajar dengan sungguh-sungguh.

Allah mengatakan bahwa jika ingin membuat anak bertumbuh dalam hal yang benar, engkau harus membuat hal itu bijaksana bagi mereka agar dapat ditaati. Ketika anak tidak mau menuruti perintah, engkau harus mendisiplin mereka untuk melakukan hal yang benar. Hal ini penting untuk diperhatikan bahwa hanya ada satu jenis disiplin yang dapat dipakai untuk memelihara anak kita. Kita memelihara anak kita ke dalam disiplin Tuhan.

Disiplin Tuhan merupakan disiplin yang telah diajarkan dalam Alkitab. Kitab Amsal mencantumkan cara mendisiplin anak. Lebih jauh lagi, disiplin dari Tuhan menunjuk pada cara Allah mendisiplin anak-anak-Nya. Dalam Ibrani 12, Allah mendisiplin orang yang sungguh menjadi anak-Nya melalui iman kepada Yesus Kristus. Kesimpulannya, mendidik anak dalam disiplin Tuhan berarti menggunakan disiplin yang dipakai Tuhan (kepada orang Kristen) untuk anak, atau seperti yang dinyatakan-Nya dalam firman-Nya. Karena begitu melimpahnya materi dalam Alkitab mengenai disiplin, kita tidak mungkin melakukannya dengan seluruh tenaga seperti dalam buku petunjuk ini.

Secara singkat, dapat dituliskan beberapa prinsip yang harus dilakukan dalam melatih disiplin Tuhan, yaitu:

1. Batasan yang jelas perlu dibuatkan bagi anak (Amsal 29:15; Keluaran 20:1-17).

2. Hindarkan peraturan yang dapat menimbulkan bahaya yang tidak diketahui.

3. Pastikan anak mengerti peraturan dan aturan yang dibuat. Kita harus menuliskan peraturan yang lebih lanjut kepada mereka.

4. Diskusikan dengan anak untuk menerangkan apa yang mereka pikirkan tentang peraturan tersebut.

Diambil dan disunting dari:

Judul buku : Ayah Anak Cucu
Penulis : Julianto Simanjuntak, Roswitha Ndraha, dan Taliziduhu Ndraha
Penerbit : Layanan Konseling Keluarga dan Karir (LK3), 2008
Halaman : 109 -- 122

Kategori Bahan PEPAK: Pelayanan Anak Umum