Karena Kurang Percaya

Jenis Bahan PEPAK: Bahan Mengajar

Negeri Kanaan sekarang sudah dekat. Sudah 1 bulan berselang sejak mereka berangkat dari Gunung Sinai. Dan sekarang ... ai, orang-orang Israel berseru dengan girangnya. Negeri bahagia sudah dekat. Berita itu tersiar di antara orang-orang Israel. Semua menengok ke satu arah. Tangan menunjuk gemetar .... Di sana, di balik gunung-gunung, di sanalah letak tanah bahagia. Betul sekeliling mereka masih ada gunung dan gurun batu yang tandus kering, tetapi di balik gunung yang gundul itu ... di sana menanti

Negeri Kanaan sekarang sudah dekat. Sudah 1 bulan berselang sejak mereka berangkat dari Gunung Sinai. Dan sekarang ... ai, orang-orang Israel berseru dengan girangnya. Negeri bahagia sudah dekat. Berita itu tersiar di antara orang-orang Israel. Semua menengok ke satu arah. Tangan menunjuk gemetar ....

Di sana, di balik gunung-gunung, di sanalah letak tanah bahagia. Betul sekeliling mereka masih ada gunung dan gurun batu yang tandus kering, tetapi di balik gunung yang gundul itu ... di sana menanti tanah harapan.

Muka mereka berseri-seri. Tengoklah awan Tuhan maju perlahan-lahan sekali, lalu berhenti. Kemah-kemah pun dipasang. Tetapi tak seorang pun mau masuk ke dalam tendanya.

Mereka berdiri saja dan memandang ke kejauhan. Seekor burung rajawali melayang di atas gunung itu. Ia sudah melihat negeri bahagia itu. Begitu dekat negeri itu sekarang.

Orang-orang ingin tahu. Betulkah seperti yang dikatakan oleh Musa, bahwa negeri itu sungguh indah? Subur makmur? Orang-orang itu gelisah. Mereka tak dapat diam lagi. Girang, tetapi takut juga. Mereka bimbang. Orang-orang apa yang tinggal di Kanaan itu? Musuh barangkali.

"Baiklah kita hati-hati saja," kata orang-orang Israel kepada Musa. "Baiklah kita menyuruh beberapa orang penyelidik pergi dulu ke sana. Entah bahaya apa yang ada di situ. Para penyelidik itu dapat mencari tempat yang mudah kita serang nanti. Di samping itu, kita dapat mengetahui apakah negeri itu benar-benar subur."

Mereka bimbang lagi karena kurang percaya. Musa mengetahui jalan pikiran mereka. "Baiklah," katanya.

Tuhan Allah juga memberi izin. Tak lama lagi, mereka akan tahu bahwa Tuhan Allah berkata benar.

Keesokan harinya, dua belas orang berangkat, dari tiap-tiap suku seorang. Yosua turut juga.

Bangsa Israel menunggu. Makin lama menunggu, mereka makin gelisah.

Setelah 40 puluh hari, nampak beberapa sosok tubuh di atas puncak gunung. Para penyelidik sudah kembali! Dan apa yang dibawanya? Buah-buahan yang enak lezat. Buah delima dan buah ara. Dua orang memikul tangkai buah anggur yang sangat besar. Belum pernah mereka melihat tangkai seperti itu.

Orang-orang Israel bersorak gembira. Mereka mengelu-elukan para penyelidik itu sebagai pahlawan. Ada yang tanya ini, tanya itu, sambil berjalan ke tempat Musa.

Sekarang tak ada yang bersungut-sungut lagi. Semua memandangi kedua belas penyelidik itu, yang sedang menceritakan pengalaman mereka.

"Seluruh negeri itu sudah kami selidiki. Sampai ke sebelah utara kami pergi. Benar-benar negeri itu penuh dengan madu dan air susu, rumput-rumputnya hijau, tanahnya subur, ah, negeri itu sungguh bagus."

Musa tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya. Benar juga kata Tuhan.

Orang-orang Israel senang mendengar kabar itu.

Tetapi itu hanya sebentar saja. Dari kedua belas orang itu, yang percaya kepada tuntunan Allah hanya dua orang: Yosua dan Kaleb. Yang sepuluh lagi seperti orang Israel lainnya: kurang percaya dan bimbang hati.

"Inilah hasil bumi Kanaan," kata mereka dengan wajah murung. "Tetapi ingat, seorang pun dari kita takkan dapat masuk ke dalam negeri itu. Seorang pun takkan bisa memetik buah-buahan yang enak itu. Percayalah. Bangsa-bangsa itu tinggal dalam kota-kota yang dilindungi tembok-tembok batu yang kokoh kuat. Tak mungkin kita dapat mengalahkan bangsa-bangsa itu." Mendengar kata-kata itu, muka orang-orang Israel menjadi muram. Mereka tak bersorak lagi, tetapi mulai takut dan sangsi.

Kaleb tampil ke depan sambil berkata: "Mengapa kita takut? Ayo, marilah kita berangkat. Tuhan akan menyertai kita." Orang-orang yang sepuluh lagi tertawa terbahak-bahak. Mereka menghina Kaleb.

"Jargan percaya kepada Kaleb. Orang yang tinggal di situ raksasa. Aduh, mereka begitu besar. Kami seperti belalang saja, begitu kecilnya. Bagaimana kita dapat mengalahkan negeri raksasa?"

Setelah mendengar penjelasan itu, orang-orang Israel mengeluh, mengerang, dan menangis tersedu-sedu. Mereka menepuk dada dan meremas-remas tangannya.

Mereka sangat marah, kecewa.

"Ah, andaikata kita mati di gurun, itu lebih baik. Tidak sampai begini keadaan kita," keluh beberapa orang.

Beberapa orang lagi merengek, "Mengapa Tuhan membawa kita ke sini? Supaya kita mati? Supaya anak-anak serta istri kita ditangkap? Tidak, kita tidak akan masuk ke negeri Kanaan itu. Kita pulang saja ke tanah Mesir."

"Benar, kita ditipu oleh Tuhan Allah dan oleh Musa!"

Orang-orang itu makin lama makin ribut. Orang-orang Israel sungguh kehilangan harapan. Apa gunanya mereka berjalan sejauh itu ke sini? Menanggung bermacam-macam sengsara, padahal akhirnya mereka tidak dapat masuk ke negeri Kanaan!

Dulu mereka merasa bahagia hidup dengan Tuhan, damai dan tenteram. Sekarang terjadi sebaliknya, mereka kesal, ribut, tak mau mengenal Tuhan Allah lagi. Bahkan, tanah bahagia yang sekian lamanya mereka harap-harapkan itu, mereka kutuki.

Yosua dan Kaleb masih mencoba menenteramkan orang-orang Israel itu. Mereka mencabik-cabik pakaiannya tanda berkabung. Aduh, bangsa ini tidak percaya kepada Tuhan. Padahal selama perjalanan mereka selalu dilindungi oleh Tuhan dan selalu ditolong bila ada kesusahan.

"Diam!" seru kedua orang itu. "Jangan takut! Tuhan dapat dan akan memberikan tanah itu kepada kita! Ia lebih kuat, lebih berkuasa daripada musuh itu. Dengarlah Musa!"

"Lempari dia dengan batu!" ada yang berseru.

"Rajam penipu itu!"

Keresahan sudah sampai batasnya. Lalu Tuhan datang menolong hamba-hamba-Nya dengan kemuliaan-Nya. Ia membela hamba-hamba yang setia itu.

Dari tiang awan Tuhan, turunlah suatu cahaya yang terang benderang menyambar ke bawah, lebih terang dari kilat.

Orang-orang Israel yang mau membunuh hamba-hamba Tuhan itu terperanjat. Mereka mundur sambil menutupi mata dengan tangannya. Tak ada lagi yang berani berbicara. Diam. Sepi. Awan yang gelap dan besar itu menyelubungi Kemah Suci. Musa masuk ke dalamnya. Mukanya sedih, kakinya terasa sangat berat. Dan orang-orang Israel merasa bahwa murka Tuhan akan menimpa mereka.

Mereka menunggu sampai Musa keluar lagi. Mereka terkejut. Belum pernah mereka melihat muka Musa sesedih itu.

"Dengar," katanya hampir menangis. "Demikian kata Tuhan. Kamu tak mau masuk ke tanah bahagia itu? Kamu takkan masuk lagi! Kamu mau kembali? Baik, kamu akan kembali! Kamu lebih suka mati di gurun? Baik, kamu akan mati di gurun sebagai hukuman karena kamu tidak mau percaya! Semua yang berumur 20 tahun ke atas akan mati di sana, kecuali Yosua dan Kaleb, yang percaya kepada Tuhan. Dan anak-anakmu yang kamu tangisi, akan masuk ke dalam negeri bahagia itu sebagai bangsa yang baru. Selama 40 tahun lagi, kamu harus mengembara di gurun pasir ini ...!"

Matahari terbenam. Di mana-mana mulai gelap. Orang-orang Israel menangis di dalam kemahnya masing-masing. Mereka menyesal, sangat menyesal.

Negeri bahagia yang dijanjikan itu sudah tertutup bagi mereka untuk selama-lamanya.

Hanya satu saja kuncinya, supaya dapat masuk ke dalamnya. Kepercayaan.

Keesokan harinya, beberapa orang pergi kepada Musa. Mereka gagah berani, senjatanya pedang yang tajam.

"Kami tahu bahwa kami sudah berdosa," kata mereka. "Sekarang kami akan masuk ke negeri bahagia itu."

Musa menggelengkan kepalanya yang sudah beruban.

"Jangan," katanya, "Tuhan tidak akan menyertai kamu."

Tetapi mereka tidak mau mendengarkan. Karena sudah putus asa, mereka mendaki gunung-gunung di perbatasan negeri Kanaan itu.

Hanya beberapa orang saja yang kembali. Badannya penuh luka-luka. Yang lain mati semua. Berserakan di pegunungan menjelang negeri bahagia yang ditujunya.

Kembali ke gurun. Orang-orang Israel menyesal, tetapi sudah terlambat.

Gurun yang berbukit-bukit, pasir yang panas terik, bongkah-bongkah batu yang serbatajam harus mereka tempuh lagi dari hari ke hari.

Mereka mengikuti awan Tuhan yang pulang kembali ke tengah gurun pasir. Rombongan orang banyak itu bergerak maju seperti menuju kuburan. Sedih, kepala mereka tertunduk, kakinya berat. Tak ada yang gembira lagi.

Benar-benar mereka pergi ke kuburan. Mengantarkan badannya sendiri karena mereka akan mati di gurun pasir itu.

Anak-anak merengek-rengek. Mereka kecewa. Sudah diceritakan oleh ibu bapa mereka, bahwa tanah bahagia sudah dekat, di balik gunung sana, tetapi sekarang mereka kembali lagi. Mereka terus menoleh ke belakang, sambil menarik-narik tangan orang-orang tuanya.

"Mengapa kita pulang lagi, Pak? Mengapa kita tidak terus ke balik gunung sana?" Begitulah mereka bertanya terus-menerus.

Ayah bundanya menyahut dengan sedih, "Sabarlah, nanti di kemudian hari kamu akan masuk ke sana. Sekarang belum."

"Di kemudian hari?" Anak-anak itu tercengang. "Mengapa baru di kemudian hari?"

Ya, mengapa?

Oleh sebab seorang pun tak dapat masuk ke dalam tanah bahagia yang sudah dijanjikan, kalau tidak percaya kepada Tuhan.

Kategori Bahan PEPAK: Pelayanan Sekolah Minggu

Sumber
Judul Buku: 
Cerita-Cerita Alkitab Perjanjian Lama
Pengarang: 
Anne de Vries
Halaman: 
175 -- 178
Penerbit: 
BPK Gunung Mulia
Kota: 
Jakarta
Tahun: 
1999